Krisis Palsu Minyak dan Pangan
Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara
Pertanyaan kita adalah apakah penyebab dan akar krisis ekonomi dan pangan tersebut? Apakah kelangkaan (scarcity) dari sumber energi dan pangan, sebagaimana dikatakan oleh para pejabat? Ataukah inflasi sebagaimana dikatakan oleh para ekonom? Ataukah ada persoalan lain?
Salah satu faktor yang dituding sebagai penyebab krisis ekonomi dunia akhir-akhir ini adalah harga minyak mentah dunia. Dalam kurun enam bulan belakangan ini, menyusul krisis kredit perumahan di AS sejak September 2007, harga minyak terus-menerus naik. Sebelum memasuki kuartal terakhir 2007 lalu harga minyak hanya sekitar 70 dolar AS. Dalam waktu yang tak terlalu lama harga ini bergejolak dan, sesudah melewati angka psikologis 100 dolar AS/barel, terbukti tak kunjung reda, bahkan kini telah mencapai angka tertingginya, 115-an dolar AS.
Belum ada tanda-tanda gejolak ini akan berakhir, kita disodori oleh krisis baru yang lebih mengkhawatirkan, yakni krisis pangan. Media masa memberitakan mulai terjadinya kerusuhan di berbagai kota di dunia. Insiden orang kelaparan pun makin membayangi. Para pejabat di PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) bahkan menyebutkan krisis pangan ini sebagai the silent tsunami yang melanda dunia.
Pertanyaan kita adalah apakah penyebab dan akar krisis ekonomi dan pangan tersebut? Apakah kelangkaan (scarcity) dari sumber energi dan pangan, sebagaimana dikatakan oleh para pejabat? Ataukah inflasi sebagaimana dikatakan oleh para ekonom? Ataukah ada persoalan lain?
Tulisan ini ingin membuktikan bahwa memang ada persoalan yang ditutup-tutupi, atau setidaknya dialihkan, hingga akar masalah yang sebenarnya tidak diketahui umum.
Komodifikasi dan Muslihat Uang Kertas
Persoalan sesungguhnya bukan terletak pada komoditi itu sendiri, baik minyak atau pun pangan atau komoditi apa pun, melainkan pada manipulasi yang merusak tatanan alamiah. Krisis minyak atau pangan, atau komoditi apa pun, tidak pernah disebabkan oleh kelangkaan komoditi itu sendiri. Implikasinya, krisis komiditi tidak pernah bermula dari komoditi itu sendiri, melainkan bermula dari komodifikasinya dan alat transaksi yang digunakan sebagai penukar komoditi tersebut, yakni uang fiat (kertas) yang tidak memiliki nilai apa pun kecuali selembar kertas itu sendiri.
Pertama-tama kita pahami, pada dataran teknis, memang ada persoalan distribusi, tapi bukan produksi. Sumber daya alam (SDA) selalu melimpah, kalau tidak di semua daerah, di suatu daerah lainnya. Persoalannya, dalam era kapitalisme sekarang ini, sumber daya alam (SDA) sepenuhnya telah dikomodifikasikan, artinya dikuasai hanya oleh segelintir orang. Ketika telah dikomodifikasikan maka SDA tidak lagi diproduksi dan didistribusikan untuk memenuhi kebutuhan semua orang, melainkan untuk memenuhi ketamakan segelintir orang yang menguasainya.
Lantas, kedua, ketika komoditi itu telah berada di tangan segelintir orang, maka fungsi asasinya sebagai alat pemenuhan kebutuhan hidup manusia tidak lagi dipedulikan, komoditi sepenuhnya menjadi sumber kekayaan. Inilah hal sebenarnya yang hari-hari ini sedang kita saksikan: kelangkaan energi dan pangan yang jadi persoalan mayoritas manusia, dijadikan sumber kekayaan-melimpah segelintir orang yang menguasainya di gudang-gudang mereka. Dengan kata lain, krisis minyak dan pangan, yang digembar-gemborkan media massa di seluruh dunia saat ini, adalah semu belaka.
Dan, ketiga, hal inilah yang seharusnya membuka mata kita semua, sebagaimana akan ditunjukkan di bawah nanti, sistem mata uang kertas sebagai pengganti komoditi, adalah instrumen penghisapan oleh segelintir orang. Sistem uang kertas adalah sistem rente, atau riba, yang sangat menindas, karenanya diharamkan dalam Islam. Alat tukar yang halal (karena keadilannya) haruslah sesama komoditi, dua yang terbaik di antaranya emas dan perak.
Dalam Dinar Harga Minyak Stabil
Harga minyak mentah (Indonesia) terus mengalami kenaikan dalam lima tahun terakhir, dari 37.58 dolar AS (2004) menjadi 53.4 dolar AS (2005), menjadi 64.29 dolar AS (2006), menjadi 72.36 dolar AS (2007), dan terakhir melonjak menjadi 95.62 dolar AS/barel (2008). Kenaikannya adalah 154% (dari 37.58 menjadi 95.62 dolar AS/barel). Kalau kita ambil harga minyak mentah dunia, pada tingkat yang tertinggi sekarang ini, taruhlah sekitar 115 dolar AS/barel, maka kenaikannya lebih tinggi, 206%. Secara flat kenaikan rata-rata harga minyak mentah Indonesia per tahunnya (dalam dolar AS) adalah 38.5%, sedang minyak dunia sebesar 50.1%.
Sementara itu, kurs dinar emas sendiri dari tahun ke tahun juga terus-menerus naik. Pada tahun 2004 satu dinar adalah 54 dolar AS, menjadi 60 dolar AS (2005), berikutnya (2006) menjadi 85 dolar AS, lalu 95 (2007), dan saat ini (2008) menjadi 127 dolar AS, sebelum kembali turun ke 117 dolar AS (Mei 2008). Jadi, dinar emas sendiri mengalami apresiasi cukup besar, meskipun lebih rendah dari kenaikan harga minyak mentah, yaitu 135% (dari 54 dolar AS menjadi 117 dolar AS/dinar). Rata-rata apresiasi dinar emas per tahun, dalam periode ini, adalah 29.16%, terpaut sekitar 9% dari rata-rata kenaikan harga minyak mentah (Indonesia) di atas.
Sekarang kita lihat harga minyak mentah, dalam periode yang sama, dalam dinar emas. Pada tahun 2004 harga minyak mentah Indonesia adalah 0.7 dinar emas/barel, yang sesudah mengalami kenaikan lumayan tinggi setahun kemudian (2005) yakni 28%, menjadi 0.9 dinar emas/barel, kembali turun 11% setahun kemudian (2006) menjadi 0.76 dinar emas/barel. Dalam kurun tiga tahun terakhir, ketika situasi sangat tidak stabil � yang selalu ditampilkan kepada kita sebagai �krisis� � harga minyak dalam dinar emas justru sangat stabil, tidak beranjak dari 0.76 dinar emas/barel. Dalam periode ini (2006-2008) harga minyak mentah dalam dolar AS naik secara drastis, sekitar 49%! (dari 64.29 ke 95.62 dolar AS/barel). Dalam dinar emas tidak berubah alias kenaikannya 0%!
Dengan cara ini kita melepaskan kaitan antara SDA dengan uang kertas (dolar AS). Kita kembalikan kaitan antara satu SDA (minyak) dan SDA lainnya (emas). Dengan jelas terbukti, antara keduanya, tidak terjadi pergeseran nilai tukar, inflasinya 0%. Kalau pun terjadi pergeseran, lebih karena faktor alamiah, kelangkaan atau kelebihan pasok, yang dalam waktu segera mengalami keseimbangan baru, sesuai dengan hukum supply-demand itu sendiri. Dengan adanya intervensi uang kertas, sebagai pengganti salah satu SDA yang dipertukarkan, dengan nilai nominal yang ditetapkan secara paksa oleh hukum negara, rusaklah hukum alamiah supply-demand ini. Segelintir orang, para pengganda uang kertas itu lah, yang meneguk keuntungan sepenuhnya dari rusaknya hukum alam tersebut. Maka, timbullah krisis palsu SDA seperti saat ini. Krisis yang sebenarnya adalah pada sistem mata uang kertas! [Wakala Nusantara]
Pertanyaan kita adalah apakah penyebab dan akar krisis ekonomi dan pangan tersebut? Apakah kelangkaan (scarcity) dari sumber energi dan pangan, sebagaimana dikatakan oleh para pejabat? Ataukah inflasi sebagaimana dikatakan oleh para ekonom? Ataukah ada persoalan lain?
Salah satu faktor yang dituding sebagai penyebab krisis ekonomi dunia akhir-akhir ini adalah harga minyak mentah dunia. Dalam kurun enam bulan belakangan ini, menyusul krisis kredit perumahan di AS sejak September 2007, harga minyak terus-menerus naik. Sebelum memasuki kuartal terakhir 2007 lalu harga minyak hanya sekitar 70 dolar AS. Dalam waktu yang tak terlalu lama harga ini bergejolak dan, sesudah melewati angka psikologis 100 dolar AS/barel, terbukti tak kunjung reda, bahkan kini telah mencapai angka tertingginya, 115-an dolar AS.
Belum ada tanda-tanda gejolak ini akan berakhir, kita disodori oleh krisis baru yang lebih mengkhawatirkan, yakni krisis pangan. Media masa memberitakan mulai terjadinya kerusuhan di berbagai kota di dunia. Insiden orang kelaparan pun makin membayangi. Para pejabat di PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) bahkan menyebutkan krisis pangan ini sebagai the silent tsunami yang melanda dunia.
Pertanyaan kita adalah apakah penyebab dan akar krisis ekonomi dan pangan tersebut? Apakah kelangkaan (scarcity) dari sumber energi dan pangan, sebagaimana dikatakan oleh para pejabat? Ataukah inflasi sebagaimana dikatakan oleh para ekonom? Ataukah ada persoalan lain?
Tulisan ini ingin membuktikan bahwa memang ada persoalan yang ditutup-tutupi, atau setidaknya dialihkan, hingga akar masalah yang sebenarnya tidak diketahui umum.
Komodifikasi dan Muslihat Uang Kertas
Persoalan sesungguhnya bukan terletak pada komoditi itu sendiri, baik minyak atau pun pangan atau komoditi apa pun, melainkan pada manipulasi yang merusak tatanan alamiah. Krisis minyak atau pangan, atau komoditi apa pun, tidak pernah disebabkan oleh kelangkaan komoditi itu sendiri. Implikasinya, krisis komiditi tidak pernah bermula dari komoditi itu sendiri, melainkan bermula dari komodifikasinya dan alat transaksi yang digunakan sebagai penukar komoditi tersebut, yakni uang fiat (kertas) yang tidak memiliki nilai apa pun kecuali selembar kertas itu sendiri.
Pertama-tama kita pahami, pada dataran teknis, memang ada persoalan distribusi, tapi bukan produksi. Sumber daya alam (SDA) selalu melimpah, kalau tidak di semua daerah, di suatu daerah lainnya. Persoalannya, dalam era kapitalisme sekarang ini, sumber daya alam (SDA) sepenuhnya telah dikomodifikasikan, artinya dikuasai hanya oleh segelintir orang. Ketika telah dikomodifikasikan maka SDA tidak lagi diproduksi dan didistribusikan untuk memenuhi kebutuhan semua orang, melainkan untuk memenuhi ketamakan segelintir orang yang menguasainya.
Lantas, kedua, ketika komoditi itu telah berada di tangan segelintir orang, maka fungsi asasinya sebagai alat pemenuhan kebutuhan hidup manusia tidak lagi dipedulikan, komoditi sepenuhnya menjadi sumber kekayaan. Inilah hal sebenarnya yang hari-hari ini sedang kita saksikan: kelangkaan energi dan pangan yang jadi persoalan mayoritas manusia, dijadikan sumber kekayaan-melimpah segelintir orang yang menguasainya di gudang-gudang mereka. Dengan kata lain, krisis minyak dan pangan, yang digembar-gemborkan media massa di seluruh dunia saat ini, adalah semu belaka.
Dan, ketiga, hal inilah yang seharusnya membuka mata kita semua, sebagaimana akan ditunjukkan di bawah nanti, sistem mata uang kertas sebagai pengganti komoditi, adalah instrumen penghisapan oleh segelintir orang. Sistem uang kertas adalah sistem rente, atau riba, yang sangat menindas, karenanya diharamkan dalam Islam. Alat tukar yang halal (karena keadilannya) haruslah sesama komoditi, dua yang terbaik di antaranya emas dan perak.
Dalam Dinar Harga Minyak Stabil
Harga minyak mentah (Indonesia) terus mengalami kenaikan dalam lima tahun terakhir, dari 37.58 dolar AS (2004) menjadi 53.4 dolar AS (2005), menjadi 64.29 dolar AS (2006), menjadi 72.36 dolar AS (2007), dan terakhir melonjak menjadi 95.62 dolar AS/barel (2008). Kenaikannya adalah 154% (dari 37.58 menjadi 95.62 dolar AS/barel). Kalau kita ambil harga minyak mentah dunia, pada tingkat yang tertinggi sekarang ini, taruhlah sekitar 115 dolar AS/barel, maka kenaikannya lebih tinggi, 206%. Secara flat kenaikan rata-rata harga minyak mentah Indonesia per tahunnya (dalam dolar AS) adalah 38.5%, sedang minyak dunia sebesar 50.1%.
Sementara itu, kurs dinar emas sendiri dari tahun ke tahun juga terus-menerus naik. Pada tahun 2004 satu dinar adalah 54 dolar AS, menjadi 60 dolar AS (2005), berikutnya (2006) menjadi 85 dolar AS, lalu 95 (2007), dan saat ini (2008) menjadi 127 dolar AS, sebelum kembali turun ke 117 dolar AS (Mei 2008). Jadi, dinar emas sendiri mengalami apresiasi cukup besar, meskipun lebih rendah dari kenaikan harga minyak mentah, yaitu 135% (dari 54 dolar AS menjadi 117 dolar AS/dinar). Rata-rata apresiasi dinar emas per tahun, dalam periode ini, adalah 29.16%, terpaut sekitar 9% dari rata-rata kenaikan harga minyak mentah (Indonesia) di atas.
Sekarang kita lihat harga minyak mentah, dalam periode yang sama, dalam dinar emas. Pada tahun 2004 harga minyak mentah Indonesia adalah 0.7 dinar emas/barel, yang sesudah mengalami kenaikan lumayan tinggi setahun kemudian (2005) yakni 28%, menjadi 0.9 dinar emas/barel, kembali turun 11% setahun kemudian (2006) menjadi 0.76 dinar emas/barel. Dalam kurun tiga tahun terakhir, ketika situasi sangat tidak stabil � yang selalu ditampilkan kepada kita sebagai �krisis� � harga minyak dalam dinar emas justru sangat stabil, tidak beranjak dari 0.76 dinar emas/barel. Dalam periode ini (2006-2008) harga minyak mentah dalam dolar AS naik secara drastis, sekitar 49%! (dari 64.29 ke 95.62 dolar AS/barel). Dalam dinar emas tidak berubah alias kenaikannya 0%!
Dengan cara ini kita melepaskan kaitan antara SDA dengan uang kertas (dolar AS). Kita kembalikan kaitan antara satu SDA (minyak) dan SDA lainnya (emas). Dengan jelas terbukti, antara keduanya, tidak terjadi pergeseran nilai tukar, inflasinya 0%. Kalau pun terjadi pergeseran, lebih karena faktor alamiah, kelangkaan atau kelebihan pasok, yang dalam waktu segera mengalami keseimbangan baru, sesuai dengan hukum supply-demand itu sendiri. Dengan adanya intervensi uang kertas, sebagai pengganti salah satu SDA yang dipertukarkan, dengan nilai nominal yang ditetapkan secara paksa oleh hukum negara, rusaklah hukum alamiah supply-demand ini. Segelintir orang, para pengganda uang kertas itu lah, yang meneguk keuntungan sepenuhnya dari rusaknya hukum alam tersebut. Maka, timbullah krisis palsu SDA seperti saat ini. Krisis yang sebenarnya adalah pada sistem mata uang kertas! [Wakala Nusantara]
Tidak ada komentar